Adat Ruwatan








Pembagian Ruwatan


Dalam masyarakat Jawa,ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu:
1. Ritual ruwat untuk diri sendiri.
2. Ritual ruwat untuk lingkungan. 
3. Ritual ruwat untuk wilayah.

Pengertian Adat Ruwatan


Upacara adat ruwatan berasal dari bahasa jawa kuno “Ruwat” yang artinya disyaratkan supaya selamat, kenapa harus disyaratkan? Karena ada anak-anak yang dianggap bisa menjadi makanan Bethara Kala, Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan.  anak yang harus diruwat disebut anak “Sukerta” atau anak yang mempunyai “Sesuker”. Kepercayaan yang seperti itu disebut “Gugon tuwon” atau “ Gugon Tuhon”.

Biasanya ruwat dilaksanakan ketika: anak yang sedang sakit, anak tunggal yang tidak memiliki adik maupun kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari kehidupan, mempunyai tanda Wisnu (tanda putih pada badannya) dll. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan. Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkan untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.

Masyarakat jawa khususnya Cirebon-Indramayu masih banyak yang percaya dengan hal-hal yang bersifat mistis, apalagi yang masih berada di daerah pelosok-pelosok pedesaan yang masih kuat dan percaya dengan hal seperti itu. Bedanya cara pemikiran yang masih sederhana dan juga orang-orang masih banyak yang tidak sekolah atau pendidikan masih rendah.

Macam-Macam Anak Sukerta

Slametan pada gugon tuwon yaitu slametan untuk meruwat anak yang dianggap anak Sukerta, contoh anak yang termasuk Sukerta yaitu ; 
1. Ontang-anting                 = Jika hanya mempunyai anak laki-laki satu   
2. Anggana                          = Anak banyak tapi yang hidup hanya satu          
3. Kedana-kedini                 = Anak dua laki-laki dan perempuan  
4. Kembang sepasang         = Anak dua perempuan semu
5. Uger-uger lawing            = Anak dua laki-laki semua
6. Pancuran kapit sendang  = Anak tiga laki-laki di tengah
7. Sendang kapit pancuran  = Anak tiga perempuan di tengah
8. Cukit dulit                       = Anak tiga laki-laki semua  
9. Gotong mayit                  = Anak tiga perempuan semua  
10. Serimpi                          = Anak empat perempuan semua dan masih banyak lagi

Untuk Ruwatan termasuk kedalam gugon tuwon salah satunya menceritakan anak-anak yang harus diruwat yang tujuannya agar anak tersebut selamat dalam hidupnya Tradisi “upacara atau ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya atau kesalahannya yang berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang di dalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan atau ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema atau cerita “Murwakala” Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asal muasal manusia),dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran: atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).  Dan hanya dilakukan oleh dalang khusus yang memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan jika sudah diruwat anak tersebut sudah dianggap bersih dan sudah bukan lagi menjadi makanan Bethara Kala. 

Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut:
1. Alat musik jawa ( Gamelan )
2. Wayang kulit satu kotak ( komplet )
3. Kelir atau layar kain
4. Blencong atau lampu dari minyak


0 Komentar